Para polisi itu seperti pembatas, antara demonstran di luar, dan kerumunan lain di dalam gedung. Mereka seolah bertanding orasi. Berjaket kuning, kerumunan di dalam gedung mengaku mahasiswa dari Universitas Indonesia. Dari teriakannya, mereka jelas mendukung langkah KPK.

Sudah beberapa pekan ini, kantor itu jadi sorotan. Terlebih sejak dua Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah, dinyatakan sebagai tersangka oleh penyidik Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Selasa 15 September 2009.

Status tersangka itu memang mengejutkan.

Sebelumnya, Bibit dan Chandra rajin bersuara bahwa KPK hendak menelusuri pelanggaran dalam penanganan kasus Bank Century. Bibit terang-terangan menyebut seorang perwira tinggi Polri terlibat karena menerbitkan dua surat memperlancar cairnya dana US$18 juta milik Budi Sampoerna, bos PT. Lancar Sampoerna.

Budi Sampoerna adalah salah seorang nasabah Bank Century. Duit yang disimpannya di bank itu terjerat masalah. Ceritanya, uang itu dicairkan tanpa sepengetahuan Budi oleh Robert Tantular, bekas pemilik Century. Pencairan dengan “gaya tilep” itu terjadi sepekan sebelum bank Century dinyatakan bangkrut, dan diambilalih pemerintah, 21 November 2008.

Seorang perwira yang disebut oleh Bibit itulah yang diduga terlibat dalam usaha pencairan dana itu kembali. Dia berinisial SD.

***

Meski menjadi tersangka, Bibit Samad Riyanto masih bekerja. "Saya masih ke kantor, sebab presiden belum mengeluarkan keputusan nonaktif" kata Bibit, Kamis 17 September 2009. "Kalau saya tak bekerja, takut nanti disalahin lagi".

Dua hari sebelumnya, Penyidik dari Badan Reserse Kriminal Mabes Polri menetapkan Bibit sebagai tersangka penyalahgunaan wewenang. Menurut polisi, Bibit salah telah mencekal Djoko S. Tjandra, bos PT Era Giat Prima. Alasan polisi, pencekalan itu tak diputuskan secara kolegial oleh pemimpin KPK. "Padahal sudah sejak awal berdirinya KPK memang begitu untuk urusan teknis."

Menurut Bibit pencekalan Djoko terkait kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan, pada Maret 2008. Waktu itu Urip ditangkap menerima suap US$660 ribu dari Artalyta Suryani. Suap ini diduga terkait perkara BLBI di Kejaksaan Agung. KPK menduga ada keterkaitan Djoko. Namun KPK tak menemukan keterkaitan Djoko di sini. Pencekalan pun dicabut. "Ternyata ini salah juga," katanya. " Jadi mencekal dan mencabutnya, dua-duanya salah."

Bukan hanya itu tuduhan bagi Bibit. Di juga diduga menerima suap. Kakek tujuh cucu ini disebut-sebut menerima uang dari Anggoro Widjaja. Bos PT Masaro Radiokom ini adalah tersangka kasus korupsi di Departemen Kehutanan. Masaro adalah rekanan Departemen Kehutanan dalam pengadaan alat komunikasi. Hingga kini, Anggoro masih buron.

Pemberian itu tak secara langsung, tetapi melalui perantara bernama Ari Muladi. Semula, polisi menuduh Bibit menerima uang itu pada Agustus 2008. "Padahal waktu itu saya sedang berada di Peru," katanya. "Saya sangat terhina dengan tuduhan ini, mereka memfitnah saya." (Lihat Wawancara Bibit Samad Riyanto)

Selain Bibit , polisi juga membidik Chandra M. Hamzah, juga Wakil Ketua KPK. Chandra dituding terima duit sekitar Rp 5 miliar. Chandra menyangkal tuduhan ini. Selain dituduh menerima suap, polisi juga menuduh dia bersalah karena menerbitkan surat cekal untuk tersangka koruptor Anggoro.

***

Ada yang menilai tuduhan polisi itu mengada-ada. Bibit dan Chandra terlihat seperti korban dari satu ‘serangan balik’. Dalam kata lain, ada yang tak senang KPK menelisik kasus pencairan dana bank Century itu, yang kabarnya melibatkan petinggi Polri itu.

Ceritanya, sebelum penetapan Bibit dan Chandra sebagai tersangka, KPK hendak menelusuri pelanggaran penanganan kasus Bank Century. Pada saat itu, Bibit pernah bilang akan meneliti dugaan keterlibatan seseorang berinisial SD. (Lihat infografik).

Meskipun Bibit tak menjelaskan siapa SD itu, tapi Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Komisaris Jenderal Susno Duadji merasa tersentil. "Inisial itu kan jelas saya," kata Susno, kepada VIVAnews.  Singkatan itu memang gampang ditebak. Apalagi sudah beredar pula cerita penyadapan KPK terhadap Susno.

Dari penyadapan itu, KPK dikabarkan mengetahui Susno menerima upeti Rp 10 miliar karena menerbitkan dua surat untuk Bank Century. Isi surat itu menjelaskan duit US$18 juta milik Budi Sampoerna, bos PT. Lancar Sampoerna, nasabah Bank Century, tak tersangkut kasus kriminal. "Bukan hanya Rp 10 miliar, saya juga dituduh menerima 10 persen dari dana itu," kata Susno. Benarkah? Susno menyangkalnya. (lihat Wawancara Susno Duadji)

Soal sadap menyadap itu bahkan Susno punya cerita sendiri. Dia mengatakan tahu teleponnya sedang disadap. "Tetapi saya tak pernah bilang KPK menyadap," katanya. Karena itu, katanya, dia bersandiwara seolah-olah benar ada transanksi penerimaan uang itu. "Ini latihan saja. Saya yang memulai, saya yang mengakhirinya," katanya.

Soal surat itu, Susno tak menyangkal. "Tetapi di situ tak ada perintah bayar," katanya.

Isu ini juga beredar di sejumlah milis, termasuk dalam surat elektronik dari seseorang yang mengaku Susno Duadji untuk Jacky Mardono Tjokrodirejo yang disapanya guru dan Lurah KBP (Keluarga Besar Polri). Sebagian isi surat ini mirip dengan keterangan Susno ketika diwawancarai VIVAnews.

Hanya saja, ada catatan lain di sini, yaitu tentang luka di hatinya karena KPK menyidik beberapa petinggi Polri, dan seorang isteri mantan Wakil Kepala Polri. “Jiwa corp sy bergetar unt tampil dan memberi pesan yg jelas dan tegas pd KPK unt jangan coba memeriksa Ibu dan bpk KB Polri tsb tanpa seijin Kabareskrim,” tulis orang yang mengaku Susno itu dalam surat elektroniknya.

Apakah surat ini memang ditulis oleh Susno?  “Saya belum membacanya,” kata Susno. Namun dia tak ingin mempersoalkannya lagi. Hanya saja untuk penetapan dua tersangka pemimpin KPK itu, Susno mengatakan bukan bersandarkan dendam. “Itu laporan resmi Ketua KPK nonaktif (Antasari Azhar),” ujarnya.

Antasari saat ini mendekam di tahanan Polda Metro Jaya. Dia menjadi tersangka pembunuhan berencana Nasruddin Zulkaranen. Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran ini tewas ditembak di kawasan Perumahan Modern Land, Tangerang, pada 14 Maret 2009 lalu.

Dalam testimoni Antasari kepada polisi, dia menyebut tentang pertemuannya dengan Anggoro di Singapura, pada Oktober 2008. Dalam pertemuan itu, Anggoro memberi uang suap untuk pimpinan KPK Rp 6 miliar agar kasusnya berhenti. Uang itu diberikan melalui Ari Muladi.

Tetapi, Antasari menyangkal membuat laporan ke polisi. Katanya, testimoni itu dilakukan setelah polisi menemukan rekaman pembicaraannya dengan Anggoro. Antasari ketika bertemu Anggoro merekam percakapan mereka itu. Antasari sendiri ketika masih aktif sebagai Ketua KPK belum menelusuri keterangan Anggoro itu.

***

Penjelasan polisi itu tetap saja tak mengubah keyakinan ada upaya menggembosi KPK.  “Ada kecenderungan akan terjadi pada kriminalisasi KPK," kata Bambang Widjajanto, pengacara yang akrab dengan persoalan good governance. Karena itu, kata Bambang, sebanyak 20 advokat termasuk pengacara Luhut MP Pangaribuan sepakat membentuk Tim Pembela Pemberantasan Korupsi.

Dia menduga ada konflik kepentingan dalam kasus ini.  Apalagi setelah melihat proses empat bulan berjalan, dari proses dan hasil pemeriksaan hingga penetapan tersangka. Menurut Bambang, ada sesautu yang dipaksakan. “Ada conflict of interest menjadi unprofessional conduct," kata Bambang Widjoyanto.

Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi, Abdullah Hehamahua, menduga ada otak yang mengatur konflik kepolisian dengan kejaksaan. "Kami sedang mengkajinya, apakah ini arogansi dari kepolisian atau kejaksaan, atau ada mastermind di belakangnya," kata Hehamahua kepada wartawan.

Apalagi di saat polisi dan KPK sedang kisruh, DPR yang sedang membahas Rancangan Undang-undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, malah membahas kewenangan KPK. Fraksi-fraksi besar di DPR sepakat melucutinya, terutama soal penuntutan dan penyadapan. “Terjadi persekongkolan elit,” kata Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, Teten Masduki.

Menurut Teten, serangan terhadap KPK sangat sistematis. “Intinya menghambat upaya pemberantasan korupsi,” katanya kepada wartawan. Melihat kondisi ini, Transparency International Indonesia melaporkan masalah ini ke kantor United Nations Office of Drugs and Crime, pada Rabu 16 September 2009.

Selain itu, Tim pembela Komisi Pemberantasan Korupsi  mengadukan Komisaris Jenderal Susno Duadji ke Komisi Kepolisian Nasional, Jumat 18 September 2009.

Polisi, kata Komite itu, dinilai tidak profesional dalam memproses kasus para pejabat KPK.